Kamis, 19 November 2015

Cinta itu Chemistry


                      Cinta Itu Chemistry!

Menurut gue, dari sekian banyak mata pelajaran, yang paling dekat sama cinta adalah kimia. Coba bayangin, kalau anak biologi ngomongin cinta, nanti berakhir di sistem reproduksi generatif. Lain lagi sama anak ekonomi, bahas cinta karena untung atau rugi (pas pacaran, apalagi kalo pacarnya tajir). Yang gue bingungin itu kalau anak HI (Hubungan Internasional) kalau ngomongin cinta, jauh banget kayanya. Eh, ngomong-ngomong yang jarak jauh dan ketemunya jarang itu masih bisa disebut cinta ya?


Kenapa harus kimia? Karena kimia itu bisa menjelaskan secara logis bagaimana seseorang itu jatuh cinta. Arti desiran darah waktu mata nggak sengaja saling bertatap, sampai kenapa degup jantung sangat kencang waktu pujaan hati menggenggam tangan, pun, semua bisa dijelaskan secara kimiawi.
Jatuh cinta itu nggak sekadar ngeliat lawan jenis yang tjakep, terus deg-degan lalu rela berbuat apa aja buat dapetin dia. Jatuh cinta itu lebih dari itu. Jatuh cinta nggak cuma melibatkan satu dari lima panca indera aja. Malahan, jatuh cinta prosesnya ada di pusat indera kita, di otak.

Bayangin gimana caranya seorang bayi yang baru dilahirkan ibunya bisa langsung merasa nyaman setelah dipeluk ibunya. Padahal bayi yang baru lahir belu bisa melihat dengan sempurna. Runtuhlah sudah peribahasa “dari mata turun ke hati”. Bayi bisa langsung merasakan cinta ibunya karena adanya reaksi kimia yang berlangsung terus-menerus selama 9 bulan. “Ah, kan manusia punya akal?” Nggak cuma manusia kok, hewan juga mengalami hal yang sama. Nggak percaya, tanya aja ibu kalian, terutama kalau ibunya anak kimia juga.

Alasan-alasan itulah yang bikin kenapa is it chemistry or love? punya banyak pengetahuan tentang kimia. Selain karena gue anak social yang sedikit tertarik dengan kimia, gue juga pengin menghapuskan pandangan orang yang tiap tahu gue anak social, mereka bilang, “Wah, bisa bikin bom dong?” atau, “Wah, tiap hari penelitian dong?” bahkan, “Oh anak ips. Itu kan yang kalo dikasih tugas ngerjain nya selalu disekolaan?”
Sesungguhnya gue juga manusia yang bisa jatuh cinta secara kimiawi, kok. :’)

Setelah mulai memahami proses kimia jatuh cinta, masalahnya timbul kemudian. Sekarang gue malah kepikiran gimana proses kimianya patah hati. Setelah dipikir-pikir, kalau jatuh cinta itu terbentuknya senyawa kimia cinta di dalam otak, kalau patah hati berarti berhentinya produksi senyawa-senyawa tersebut. Ini ibarat tanaman yang biasa disiram air, sekalinya nggak disiram, langsung layu. (Catatan: kalau gue sih levelnya mungkin udah kaktus yang diabaikan).
Gue pernah mengalami patah hati sama seseorang, padahal, ketemu aja belum. Lagi-lagi, “dari mata turun ke hati” itu salah. Gue pernah kenalan sama cewek. Entah dari mana asalnya, gue tiba-tiba temenan sama seorang gadis manis di twitter, dia nge-follow duluan. Dasar jomlo ngeliat yang bening-bening, gue terima, lalu mulai kepo. Kepo aja ternyata nggak asik, akhirnya gue ajak dia chatting. Reaksi kimia di otak gue mulai berlangsung, bikin gue jadi seneng banget chatting sama dia, bahkan gue suka ilang kesadaran kalau sehari aja nggak chatting sama dia. Udah baper, berlebihan, dasar jomlo.

Nggak puas chatting, kami jadi sering teleponan sampe larut malam bahkan sampai vidcall pula. Ngantuk yang gue rasain ilang kalau udah teleponan sama dia. Suaranya bikin adrenalin gue tinggi. Kalau kafein di kopi merangsang adrenalin lalu memacu jantung dan bikin nggak ngantuk, dalam kasus gue, suara tawanya adalah kafein buat gue.

Kami memutuskan buat ketemuan. Nahas, di hari yang udah ditentukan, dia tiba-tiba menghilang dan nggak bisa dihubungin. Mulai berkecamuklah syaraf-syaraf motorik di badan gue karena kekurangan nutrisi. Ada yang nggak beres dengan metabolisme gue. Gue mulai merasa sakit. Candu ini udah bikin gue sakaw, tapi sayangnya nggak ada zat yang seadiktif suara tawa renyahnya.
Seminggu kemudian, dalam keadaan layu, gue mendapat kenyataan yang lebih pahit lagi. Dia tiba-tiba posting foto mesranya dengan sang kekasih. Ternyata selama ini dia punya pacar. Salah gue, kebaperan ini nggak dipastikan dengan bertanya, “Kamu udah punya pacar?”

Tanpa aba-aba, otot-otot gue serasa lemas. Gue kekurangan glukosa. Metabolisme yang berantakan adalah penyebabnya. Mungkin karena adrenalin yang semakin menurun mengakibatkan jantung gue malas buat menyalurkan nutrisi lewat darah ke sel-sel di dalam badan. Gue rasanya nggak mau bangun dari kasur. Bagi gue saat itu, kasur adalah tempat terbaik untuk patah hati.
Namun, gue punya kehidupan, nggak boleh patah hati terus-terusan. Ada ‘cinta’ lain yang menuggu kehadiran gue; keluarga, sahabat, dan mungkin calon gebetan lainnya. Hanya masalah waktu. Mungkin gue dengan gebetan-yang-belom-pernah-ketemu ini laju reaksinya cepat. Mungkin nanti bakal ada reaksi jatuh cinta lainnya yang akan gue rasakan, entah bagaimana laju reaksinya, dan entah kapan waktunya.

Sambil menunggu waktu itu, gue cuma bisa berkesimpulan sendiri. Jatuh cinta itu reaksi kimia yang terjadi di dalam diri gue, sedangkan patah hati cuma proses berhentinya reaksi-reaksi itu. Entah karena senyawa cinta yang dihasilkan kadarnya berlebihan, atau mungkin senyawa yang disintesis itu bukan senyawa yang dibutuhkan.
Mari berjuang mencari chemistry lagi!